Sabtu, 31 Mei 2014

OBJEK WISATA DESA LINGGA KABUPATEN KARO

Desa Lingga merupakan salah satu desa budaya yang terdapat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Sejarah desa Lingga tidak dapat terlepas dari adanya kerajaan Lingga yang asalnya dari keturunan Pak-Pak (Dairi) yang pertama ditempati di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin. Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-pak Dairi yaitu Desa Lingga Raja. Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah singgah atau sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga (Sibayak) pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa yang sekarang.

Perkampungan Suah yang berada di lembah uruk Gungmbelin dulu sekarang dijadikan ladang atau tempat bercocok tanaman. Sejak Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang dari Raja Sibayak Lingga berubah menjadi sistem pemerintahan yang seperti sekarang ini di mana pemilihan Kepala Desa tidak lagi berdasarkan keturunan Raja melainkan dengan cara pemilihan, sesuai dengan suara yang terbanyak. Raja Lingga (Sibayak), yang diangkat dulu adalah marga Sinulingga, dan penduduk desa Lingga sekarang masih kebanyakan marga Sinulingga, namun keturunan raja dulu sudah banyak yang pergi keluar kota seperti Medan, Jakarta, dan Bandung. Keturunan raja Lingga hanya tinggal satu orang yang telah berusia 80 tahun, dan sekarang ia bertempat tinggal di rumah Raja Sibayak Lingga.Adapun batas-batas wilayah desa Lingga sebagai berikut :1.      Sebelah utara berbatasan dengan desa Surbakti.
2.      Sebelah selatan berbatasan dengan desa Kacaribu.
3.      Sebelah timur berbatasan dengan desa Kaban.
4.      Sebelah barat berbatasan dengan desa Nang Belawan.
 
Rumah Tua di Desa Budaya Lingga itu berdiri kokoh. Halamannya ditumbuhi rumput tipis. Masyarakat Lingga menyebut rumah itu Gerga. Rumah ini dihuni oleh 12 jabu atau 12 keluarga. Di depannya juga ada rumah serupa. Tapi hanya bisa dihuni delapan keluarga. Nama rumah itu disebut Rumah Adat Belang Ayo. Ada juga yang bilang Waluh Jabu, yang berarti delapan keluarga. 1.      Adat Istiadat/Tata Kehidupan1.1.Susunan MasyarakatMasyarakat Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima. Masyarakat Karo membagi marga atas 5 bagian, yaitu Karo-karo, Sembiring, Ginting, Perangin-angin dan Tarigan.Menurut sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga. Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat yang mempunyai merga tentu dapat dikenal.Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam, binatang buas, mencari tempat yang lebih baik.Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu keturunan.Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian antara yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah. 1.2.KepercayaanSejak berdirinya kerajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam, Khatolik, Pantekosta.Benda-benda atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam setiap usaha yang akan dijalankan.Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka seluruh penduduk datang ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan. Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka.Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk memohon untuk turun hujan.Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning, tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra, maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik.Konon ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak, berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bisa menjadi bagus asalkan mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga.Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga. Mayat Tengku Lau Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi. Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak diketahui oleh penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena makamnya terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.Suku Batak Karo mempunyai bangunan yang tradisional. Sebuah kesain (kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur, lesung, dan griten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga. Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh ruangan dibagi atas delapan bagian (jabu). 2.      Rumah Adat Belang AyoKeduanya berbentuk panggung, tapi agak lancip, dan dipenuhi ukiran, yang semua ukirannya tentu punya makna. Besarnya, hampir dua kali lapangan volly. Atap dilapisi daun ijuk. Di bubung yang menghadap ke Barat, tanduk kerbau jantan menjulang angkuh. Sedang yang menghadap ke Timur, adalah tanduk kerbau betina. Mitosnya, kedua tanduk itu sebagai alat tolak bala, yang menyerang dari Timur dan Barat.Memasuki rumah tersebut, kesan angker langsung menyergap. Gelap, tak ada lampu yang menerangi. Beberapa tiang penyangga berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Bau pengap menusuk hidung. Pada tiang penyangga, tali jemuran menjulang, menggantung beberapa pasang pakaian kering.Di kiri-kanan di dalam rumah, berjejer masing-masing lima rumah lagi. Jadi, ada rumah di dalam rumah. Namun jika kita melihat sekilas, terlihat seperti kamar. Ukurannya tidaklah besar, sekitar enam meter saja. Dalam tiap-tiap rumah berbentuk lancip, mirip bak truk terbuka, yang dibentuk dari turunan atap. Di tempat itulah setiap keluarga tinggal.Para (tungku memasak), berada di antara dua rumah. Bentuknya petak. Di ataspara, terdapat tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak. Hanya ada lima para.
Dinding rumah berusia sekitar 400 tahun ini tergolong unik. Ukiran lima warna, dengan motif saling kait menambah daya tarik. Sayang, tak banyak yang tahu makna lima warna itu. Hanya sebagian orang tua yang paham makna.Setiap ukiran bunga berkait melambangkan keakraban antara lima Suku Batak yang saling bersaudara. Warna merah adalah simbol Marga Ginting, hitam milik Marga Sembiring, putih menyimbolkan Suku Siangin-Angin, Tarigan dengan warna biru, dan kuning keemasan miliknya Suku Karo-Karo.Konsep rumah ini tergolong bagus. Arsiteknya memikirkan hingga ke keutuhan rumah, bila terjadi gempa. Palas (antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk. Gunanya, bila digoyang gempa, maka rumah akan mengikuti arah goyangan. Kata orang dulu, rumah ini selalu dijaga, karena diberi doa oleh dukun. Dibanding dengan rumah sekarang,jika digoyang gempa langsung roboh. Itu karenatidak dimantrai.Alkisah, sekitar 400 tahun silam, masyarakat Karo tidaklah beragama. Mereka hidup bermasyarakat, dengan menyandingkan delapan, hingga 12 keluarga ke dalam satu rumah.Membangun rumah pun, dilakukan dengan ritual panjang. Kayu yang dipilih pun harus atas seizin dukun.Pada zaman dahulu beberapa pemuda beranjak ke hutan untuk melihat kayu-kayu besar. Tapi, tidak semua kayu bisa dipotong. Mereka hanya mengiris kayu-kayu itu, untuk kemudian irisan kecil tersebut dibawa ke dukun. Oleh dukun, semua kayu-kayu kecil tersebut didoakan, dimimpikan, untuk kemudian ditunjuk, kayu mana yang boleh dipotong. Ritualnya haruslah demikian, jika tidak akan membawa sial/malapetaka.Saat memotong kayu, semua kaum adam menuju hutan, untuk bersama-sama menggotong batang kayu. Di atas kayu diduduin anak dara. Gunanya biar yang angkat kayu semangat. Kayu yang dipilih pun, hanya tiga macam saja. Batang Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidaklah didera sakit. Kayu Ambartuah dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup. Sedang kayu Sibernaik dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki.Memang tidak masuk akal, tapi itulah kepercayaan dulu, mereka animisme.Banyak pantangan yang dilarang di dalam rumah adat tersebut. Di sana kita seperti terkurung. Tidak bebas berbicara dan tidak bisa menggunakan TV. Dulu adatnya masih kental. Di jalan tengah kitatidakdibolehkan untuk duduk, labah (sial) istilahnya. Karena melalui jalan tengah itu kita menyapu lantai, banyak debu, dianggapnya kita juga sampah jika duduk di situ. Di tungku juga tidak boleh duduk karena itu merupakan tempat untuk memasak.Karena banyaknya pantangan tersebut, sekarang masyarakat Desa Lingga lebih memilih untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah tersebut. Dulu ada 28 rumah, tapi sekarang hanya sisa dua, itupun dengan kondisi yang memperihatinkan, yang lain rusak ditinggal penghuni. Biaya perawatannya terlalu maha, sehingga warga sudah tak sanggup merawat semuanya. Kini, sejarah tersebut tinggal dua, dan dikhawatirkan juga akan menghilang dari Desa Budaya Lingga. 3.      Rumah Adat GergaRumah Gerga, rumah ini adalah salah satu Rumah Adat yang masih di tempati oleh keluarga Ginting. Saat kami mendatangi rumah tersebut  kami bertemu dengan seorang ibu yang merupakan penghuni rumah Gerga yang bernama Januari boru Sitepu dengan dua orang anak gadisnya yang masih kecil. Menurut penjelasan ibu itu rumah ini dulu dihuni oleh 12 jabu atau 12 keluarga, tapi sekarang hanya satu keluarga lagi yang tinggal di rumah tersebut.

Rumah gerga berdiri sejak tahun 1860 yang didirikan oleh Sinulingga Rumah Raja Urung dan anak beruna. Ibu yang sudah tujuh tahun tinggal di rumah tersebut mengatakan bahwa di desa ini tidak pernah terjadi pencurian atau kemalingan. Hal itu disebabkan karena adanya penolak bala di setiap rumah seperti, patung kepala kerbau, cicak (penggerek), dan mantra-mantra lainnya.
Di dalam rumah gerga terdapat enam tungku yang masing-masing tungku dimiliki oleh dua keluarga. Mata pencaharian warga desa Lingga adalah beternak kambing, membuat kerajinan tangan berupa keranjang dari bambu muda dan juga berladang.Setelah mengunjungi rumah gerga tersebut, kami (rombongan ADP Unimed) mengeliling desa Lingga. Banyak hal yang menarik perhatian kami saat mengunjungi Desa Budaya Lingga yang juga merupakan ciri khas desa tersebut adalah sebagai berikut: a.         Patung Kepala Kerbau
Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karoberada dalam posisi tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga sebagai tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.b.        Dinding dan Ayo-AyoDinding dan ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati daripada masyarakat Karo. Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari dapur dan juga berfungsi untuk membuat tidak terlalu dingin.c.         Talit Ret-ret
Pengikat dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jari-jari tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu, Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama pentingnya. Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan dan dianggap sebagai penangkalan setan.   d.        Pinggiran Atap
Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah pada segala arah yang sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan merata atau senasib sepenanggungan.e.         Dapur
Dapur merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu kesatuan.f.          Tungku
Tungku berjumlah 5 buah (tungku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Karo terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu yang sama tingkatannya.g.      JamburBangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri dari 3 bagian yaitu:-       Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding
-       Bagian tengah : tempat penyimpanan padi
-       Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur pemuda-pemuda kampung.
Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13 tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur.h.        Lesung
Beberapa buah kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari.i.           Geriten
Geriten ini adalah merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat. Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh berbeda dengan peralatan rumah biasa. Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna. Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh karenanya yang memakai griten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja. Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang bersangkutan. Geriten yang kami kunjungi berdiri pada tahun 1912.j.          Sapo GanjangDidirikan pada tahun 1870. Sapo Ganjang merupakan tempat musyawarah/runggu, tempat penyimpanan padi dan sekarang telah dijadikan sebagai tempat Taman Bacaan Anak Desa Budaya Lingga. Sore yang mendung dan dingin di Budaya Lingga, Karo menusuk kulit. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Kami pun akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan kami menuju objek wisata lainnya. Dari kejauhan, kabut tipis perlahan menutup keangkuhan Sinabung, gunung yang menumpahkan laharnya beberapa waktu silam, menambah angker Gerga danWaluh Jabu: sepasang bukti perdaban Lingga

OLEH :
KELOMPOK 3
·         Mersi Nantaria Telaumbania
·         Rimson Sinaga
·         Sinta Mulianti
·         Windy Ramadhani

2 komentar:

  1. One of places yang penuh dengan sejarah. Ayoo kunjungi Desa Lingga dan ceritakan apa yang kamu ketahui tentang desa penuh sejarah itu. Keren!

    BalasHapus
  2. Lingga...
    ini dulu kalo g slh,, merupakan sebuah kerajaan besar di tanah karo,, smpe skrg rumah raja nya itu masih utuh dirawat oleh keturunan raja,,
    dan satu fenomena yang menarik, disetiap bagian kiri kanan jendela rumah ini,, terdapat siluet menyerupai wajah manusia yang tersenyum, jika diperhatikan dengan seksama dan serius...
    fenomenal...............

    BalasHapus