Desa
Lingga merupakan salah satu desa budaya yang terdapat di Kecamatan Simpang
Empat, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Sejarah desa Lingga tidak dapat
terlepas dari adanya kerajaan Lingga yang asalnya dari keturunan Pak-Pak
(Dairi) yang pertama ditempati di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin.
Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-pak Dairi yaitu
Desa Lingga Raja. Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah singgah atau
sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga (Sibayak)
pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa
yang sekarang.
Perkampungan
Suah yang berada di lembah uruk Gungmbelin dulu sekarang dijadikan ladang atau
tempat bercocok tanaman. Sejak Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang dari
Raja Sibayak Lingga berubah menjadi sistem pemerintahan yang seperti sekarang
ini di mana pemilihan Kepala Desa tidak lagi berdasarkan keturunan Raja
melainkan dengan cara pemilihan, sesuai dengan suara yang terbanyak. Raja
Lingga (Sibayak), yang diangkat dulu adalah marga Sinulingga, dan penduduk desa
Lingga sekarang masih kebanyakan marga Sinulingga, namun keturunan raja dulu
sudah banyak yang pergi keluar kota seperti Medan, Jakarta, dan Bandung.
Keturunan raja Lingga hanya tinggal satu orang yang telah berusia 80 tahun, dan
sekarang ia bertempat tinggal di rumah Raja Sibayak Lingga.Adapun
batas-batas wilayah desa Lingga sebagai berikut :1. Sebelah
utara berbatasan dengan desa Surbakti.
2. Sebelah
selatan berbatasan dengan desa Kacaribu.
3. Sebelah
timur berbatasan dengan desa Kaban.
4. Sebelah
barat berbatasan dengan desa Nang Belawan.
Rumah Tua di
Desa Budaya Lingga itu berdiri kokoh. Halamannya ditumbuhi rumput tipis.
Masyarakat Lingga menyebut rumah itu Gerga. Rumah ini dihuni oleh 12
jabu atau 12 keluarga. Di depannya juga ada rumah serupa. Tapi hanya bisa
dihuni delapan keluarga. Nama rumah itu disebut Rumah Adat Belang Ayo. Ada juga yang bilang Waluh Jabu, yang berarti
delapan keluarga. 1. Adat Istiadat/Tata Kehidupan1.1.Susunan MasyarakatMasyarakat
Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah
lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga
Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima. Masyarakat Karo membagi marga
atas 5 bagian, yaitu Karo-karo, Sembiring, Ginting, Perangin-angin dan Tarigan.Menurut
sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga.
Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan
sejarah
tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat
yang mempunyai merga tentu dapat dikenal.Pada zaman
dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih
utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan
kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam,
binatang buas, mencari tempat yang lebih baik.Kelompok
penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma
yang berlaku di lingkungannya. Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah
kelompok keluarga dari satu keturunan.Karena
semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul
suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya
tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian
antara
yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya
tanda
kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai
tanda
garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah. 1.2.KepercayaanSejak
berdirinya kerajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan
Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam,
Khatolik, Pantekosta.Benda-benda
atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh
dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat
mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam
setiap usaha yang akan dijalankan.Ada sebuah
tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu
sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka
seluruh penduduk datang ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu
dihentikan.
Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk
meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya
permintaan
mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka
mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu
untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan
burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka.Penduduk
yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme
tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari
kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk
memohon untuk turun hujan.Menurut
cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu
berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang
menguning,
tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra,
maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik.Konon
ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan
disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu
terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak,
berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang
kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bisa menjadi bagus asalkan
mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga.Untuk
mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus
berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang
dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga. Mayat Tengku Lau
Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa Lingga, nama daerah tersebut
adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi yang telah rusak tersebut menjadi
bagus kembali dan berisi. Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak
diketahui oleh penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena
makamnya terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.Suku Batak
Karo mempunyai bangunan yang tradisional. Sebuah kesain
(kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu
jambur,
lesung, dan griten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa
keluarga.
Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua
bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh
ruangan
dibagi atas delapan bagian (jabu). 2. Rumah Adat Belang Ayo Keduanya berbentuk panggung, tapi agak lancip, dan
dipenuhi ukiran, yang semua ukirannya tentu punya makna. Besarnya, hampir dua
kali lapangan volly. Atap dilapisi daun ijuk. Di bubung yang menghadap ke
Barat, tanduk kerbau jantan menjulang angkuh. Sedang yang menghadap ke Timur,
adalah tanduk kerbau betina. Mitosnya, kedua tanduk itu sebagai alat tolak
bala, yang menyerang dari Timur dan Barat.Memasuki rumah tersebut, kesan angker langsung
menyergap. Gelap, tak ada lampu yang menerangi. Beberapa tiang penyangga
berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Bau pengap menusuk hidung. Pada tiang
penyangga, tali jemuran menjulang, menggantung beberapa pasang pakaian kering.Di kiri-kanan di dalam rumah, berjejer masing-masing
lima rumah lagi. Jadi, ada rumah di dalam rumah. Namun jika kita melihat sekilas,
terlihat seperti kamar. Ukurannya tidaklah besar, sekitar enam meter saja.
Dalam tiap-tiap rumah berbentuk lancip, mirip bak truk terbuka, yang dibentuk
dari turunan atap. Di tempat itulah setiap keluarga tinggal.Para (tungku memasak), berada di antara
dua rumah. Bentuknya petak. Di ataspara, terdapat tempat menyimpan kayu
bakar, yang digantung di atas plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak.
Hanya ada lima para.
Dinding
rumah berusia sekitar 400 tahun ini tergolong unik. Ukiran lima warna, dengan
motif saling kait menambah daya tarik. Sayang, tak banyak yang tahu makna lima
warna itu. Hanya sebagian orang tua yang paham makna.Setiap ukiran bunga berkait melambangkan keakraban
antara lima Suku Batak yang saling bersaudara. Warna merah adalah simbol Marga
Ginting, hitam milik Marga Sembiring, putih menyimbolkan Suku Siangin-Angin,
Tarigan dengan warna biru, dan kuning keemasan miliknya Suku Karo-Karo.Konsep rumah ini tergolong bagus. Arsiteknya
memikirkan hingga ke keutuhan rumah, bila terjadi gempa. Palas (antara
batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk. Gunanya,
bila digoyang gempa, maka rumah akan mengikuti arah goyangan. Kata orang dulu,
rumah ini selalu dijaga, karena diberi doa oleh dukun. Dibanding dengan rumah
sekarang,jika digoyang gempa langsung roboh. Itu karenatidak dimantrai.Alkisah, sekitar 400 tahun silam, masyarakat Karo
tidaklah beragama. Mereka hidup bermasyarakat, dengan menyandingkan delapan,
hingga 12 keluarga ke dalam satu rumah.Membangun rumah pun, dilakukan dengan
ritual panjang. Kayu yang dipilih pun harus atas seizin dukun.Pada zaman dahulu beberapa pemuda beranjak ke hutan
untuk melihat kayu-kayu besar. Tapi, tidak semua kayu bisa dipotong. Mereka
hanya mengiris kayu-kayu itu, untuk kemudian irisan kecil tersebut dibawa ke
dukun. Oleh dukun, semua kayu-kayu kecil tersebut didoakan, dimimpikan, untuk
kemudian ditunjuk, kayu mana yang boleh dipotong. Ritualnya haruslah demikian,
jika tidak akan membawa sial/malapetaka.Saat memotong kayu, semua kaum adam menuju hutan,
untuk bersama-sama menggotong batang kayu. Di atas kayu diduduin anak
dara. Gunanya biar yang angkat kayu semangat. Kayu yang dipilih pun, hanya tiga
macam saja. Batang Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah
tersebut tidaklah didera sakit. Kayu Ambartuah dipakai supaya mereka diberi
tuah, ataupun kesejahteraan hidup. Sedang kayu Sibernaik dipakai untuk
mendoakan kemudahan rezeki.Memang tidak
masuk akal, tapi itulah kepercayaan dulu, mereka animisme.Banyak pantangan yang dilarang di dalam rumah adat
tersebut. Di sana kita seperti terkurung. Tidak bebas berbicara dan tidak bisa menggunakan TV. Dulu
adatnya masih kental. Di jalan tengah kitatidakdibolehkan untuk duduk, labah (sial) istilahnya. Karena
melalui jalan tengah itu kita menyapu lantai, banyak debu, dianggapnya kita
juga sampah jika duduk di situ. Di tungku juga tidak boleh duduk karena itu merupakan tempat untuk memasak.Karena banyaknya pantangan tersebut, sekarang masyarakat
Desa Lingga lebih memilih untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah
tersebut. Dulu ada 28 rumah, tapi sekarang hanya sisa dua, itupun dengan
kondisi yang memperihatinkan, yang lain rusak ditinggal penghuni. Biaya
perawatannya terlalu maha, sehingga warga sudah tak sanggup merawat semuanya.
Kini, sejarah tersebut tinggal dua, dan dikhawatirkan juga akan menghilang dari
Desa Budaya Lingga. 3. Rumah Adat GergaRumah Gerga, rumah ini adalah salah
satu Rumah Adat yang masih di tempati oleh keluarga Ginting. Saat kami mendatangi
rumah tersebut kami bertemu dengan
seorang ibu yang merupakan penghuni rumah Gerga yang bernama Januari boru Sitepu
dengan dua orang anak gadisnya yang masih kecil. Menurut penjelasan ibu itu
rumah ini dulu dihuni oleh 12 jabu atau 12 keluarga, tapi sekarang hanya satu
keluarga lagi yang tinggal di rumah tersebut.
Rumah gerga berdiri sejak tahun
1860 yang didirikan oleh Sinulingga Rumah Raja Urung dan anak beruna. Ibu yang
sudah tujuh tahun tinggal di rumah tersebut mengatakan bahwa di desa ini tidak
pernah terjadi pencurian atau kemalingan. Hal itu disebabkan karena adanya
penolak bala di setiap rumah seperti, patung kepala kerbau, cicak (penggerek),
dan mantra-mantra lainnya.
Di dalam rumah gerga terdapat enam
tungku yang masing-masing tungku dimiliki oleh dua keluarga. Mata pencaharian
warga desa Lingga adalah beternak kambing, membuat kerajinan tangan berupa
keranjang dari bambu muda dan juga berladang.Setelah mengunjungi rumah gerga
tersebut, kami (rombongan ADP Unimed) mengeliling desa Lingga. Banyak hal yang menarik
perhatian kami saat mengunjungi Desa Budaya Lingga yang juga merupakan ciri
khas desa tersebut adalah sebagai berikut: a.
Patung Kepala Kerbau
Kepala
kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karoberada dalam posisi
tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo
menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan
kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga
sebagai
tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.b.
Dinding dan Ayo-AyoDinding dan
ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati
daripada masyarakat Karo. Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari
dapur dan juga berfungsi untuk membuat tidak terlalu dingin.c.
Talit Ret-ret
Pengikat
dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jari-jari
tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu,
Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama
pentingnya. Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan
persatuan dan dianggap sebagai penangkalan setan. d.
Pinggiran Atap
Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah
pada segala arah yang
sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan merata atau
senasib sepenanggungan.e.
Dapur
Dapur
merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu
kesatuan.f.
Tungku
Tungku
berjumlah 5 buah (tungku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu
mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Karo
terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu
yang sama tingkatannya.g. JamburBangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri
dari 3 bagian yaitu:-
Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding
-
Bagian tengah : tempat penyimpanan padi
-
Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur
pemuda-pemuda kampung.
Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang
telah berusia 13
tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur.h.
Lesung
Beberapa
buah kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan
oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari.i.
Geriten
Geriten ini adalah merupakan
suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat.
Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat
kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah
jauh berbeda dengan peralatan rumah biasa. Bangunan ini dibuat bertiang,
mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat geriten ini dibuat ukiran-ukiran
khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna. Biaya bangunan ini
sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh karenanya yang
memakai griten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja. Geriten
tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang bersangkutan.
Geriten yang kami kunjungi berdiri pada tahun 1912.j.
Sapo GanjangDidirikan pada tahun 1870. Sapo Ganjang merupakan tempat
musyawarah/runggu, tempat penyimpanan padi dan sekarang telah dijadikan sebagai
tempat Taman Bacaan Anak Desa Budaya Lingga. Sore yang mendung dan dingin di Budaya Lingga, Karo
menusuk kulit. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Kami pun
akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan kami menuju objek wisata
lainnya. Dari kejauhan, kabut tipis perlahan menutup keangkuhan Sinabung,
gunung yang menumpahkan laharnya beberapa waktu silam, menambah angker Gerga
danWaluh Jabu: sepasang bukti perdaban Lingga
OLEH :
KELOMPOK 3
·
Mersi Nantaria Telaumbania
·
Rimson Sinaga
·
Sinta Mulianti
·
Windy Ramadhani
One of places yang penuh dengan sejarah. Ayoo kunjungi Desa Lingga dan ceritakan apa yang kamu ketahui tentang desa penuh sejarah itu. Keren!
BalasHapusLingga...
BalasHapusini dulu kalo g slh,, merupakan sebuah kerajaan besar di tanah karo,, smpe skrg rumah raja nya itu masih utuh dirawat oleh keturunan raja,,
dan satu fenomena yang menarik, disetiap bagian kiri kanan jendela rumah ini,, terdapat siluet menyerupai wajah manusia yang tersenyum, jika diperhatikan dengan seksama dan serius...
fenomenal...............